Oleh: Zubaydi Ilyas R.
Abu Nawas. Siapa pun pasti pernah mendengar nama ini. Di negara kita, ia dikenal sebagai seorang tokoh cerdik yang sarat dengan cerita-cerita lucu. Perseteruannya dengan raja Harun al-Rasyid selalu menjadi cerita utama anak-anak kecil. Penulis sendiri semasa kecil bersama teman-teman yang lain sering mendengarkan kisah Abu Nawas yang diceritakan pak kiai di kampung sehabis mengaji al-Quar’an. Begitu pula ketika penulis masih di sekolah dasar.
Hebatnya, kisah lucu Abu Nawas seakan tak pernah habis. Selalu ada cerita lucu yang baru hingga akhirnya ia dikenal dengan seorang humoris yang sangat pintar. Raja Harun al-Rosyid, yang disebut sebagai raja dinasti Abasiah paling pintar, tak pernah berhasil mengalahkannya. Berbagai macam caraâ€"atau tipudayaâ€"dilakukan oleh raja Harun dan Abu Nawas, sekali lagi, dengan kecerdikannya selalu selamat dari ancaman penjara atau hukuman mati Raja Harun.
Syair الهي لست للفردوس اهلا yang selalu kita baca sehabis shalat Jum’at--yang katanya adalah karya Abu Nawas--menggambarkan betapa jenakanya tokoh dari
Tidak jelas dari mana sumbernya cerita dan keshufian Abu Nawas itu. Sebab dalam literatur sejarah Islam, Abu Nawas justeru lebih dikenal sebagai tokoh sastra dari pada seorang ‘pelawak’. Dan sekedar diketahui, ternyata petualangan Abu Nawas bukan dengan Harun al-Rasyid melainkan dengan khalifah setelahnya, Al-Amin, putera Harun. Bahkan ada yang mengatakan bahwa Abu Nawas tidak pernah bertatap muka dengan Harun al-Rasyid. Penulis juga tak pernah menemukan kisah-kisah lucu dan keshufian Abu Nawas dalam kitab-kitab sejarah. Penulis hanya menemukannya dalam buku-buku bergambar atau buku cerita anak kecil.
Ibnu Arabi, sejarawan terkenal mengatakan, “Telah aku bandingkan syair Abu Nawas dengan yang lain, ternyata tidak aku temukan syair seindah miliknyaâ€. Tokoh hadits, sejarah dan sastra terkenal di Bashrah bernama Ubaidullah bin Muhammad, mengatakan, “Barang siapa yang belajar sastra tetapi tidak meriwayatkan syair Abu Nawas, maka dia tidak akan sempurna sastranyaâ€. Kultsum al-Uttabi juga mengatakan, “Andaikan Abu Nawas hidup sejak masa Jahiliyah, niscaya tidak seorang pun yang bisa mengalahkannyaâ€. Imam al-Utbi mengatakan, “Komentar al-Jahidz, “Tidak aku temukan orang yang alim dalam ilmu bahasa dan lebih fasih lahjahnya dari mengalahkan Abu Nawas†dan masih banyak komentar ulama yang senada dengan di atas.
Sayang, keahliannya dalam bersastra terkontaminasi oleh kebiasaannya yang mujun (???, KBI). Hampir semua kitab sejarah menyebutkan hal yang sama: Abu Nawas adalah sastrawan cabul: gemar minuman keras, berbicara kotor dan puisi-puisinya banyak mengkritik hadits dan ayat al-Qur’an yang melarang minum Khomer. Ia sering keluar masuk penjara karena puisi-puisinya itu.
Puisi dan cerita mujun-nya bisa dilihat dalam kitab-kitab sejarah seperti, Tarikh al-Islam (juz 10/161) karya sejarawan handal adz-Dzahabi, Tarikh Baghdad (juz 7/ 436) karya Khatib al-Baghdadi, Tahdzib ibn Asakir juz 4, (Giografi Abu Nawas), Wafayat al-A’yan karya Ibnu Khalkan, Masalik al-Abshar (jilid 9), Syudzurat al-Dzahab (juz 1/345) atau kitab Mulhaq al-Aghani juz 25 karya Abu al-Faraj al-Ashbihani yang khusus menerangkan biografi Abu Nawas.
Tanpa maksud berapologi, di samping peminum minuman keras, Abu Nawas ternyata juga seorang seorang homosex, hal yang terasa asing ditelinga kita. Seorang tokoh Timur Tengah menulis sebuah disertasi mengenai hal ini. Dalam disertasinya yang berjudul al-Syudzudz al-Jinsiyah (kelainan seksual), beliau mengupas habis kepribadian Abu Nawas terutama tentang kelainan seksualnya. “Karena itulah, selama hidupnya ia tidak pernah menyukai orang perempuanâ€. Dalam Mulhaq al-Aqhani juz 25 disebutkan bahwa Abu Nawas pernah dikawinkan secara paksa oleh orang tuanya dengan salahsatu wanita yang masih familinya, tapi keesokan harinya perempuan itu dithalaknya karena Abu Nawas tidak mencintainya. Ia pernah mencintai seorang perempuan bernama
Kecabulannnya inilah yang membuat Abu Nawas nyaris tidak mendapatkan simpati dari tokoh-tokoh Islam. Salah satu bukti, dalam kitab-kitab balaghah sangat jarang dijumpai pengarangnya menggunakan contoh dari syair-syairnya. Kehebatan sastranya tenggelam di telan kefasikannya. Dalam kesusteraan Arab, nama-nama seperti ??? lebih dikenal dari pada nama Abu Nawas. Orang sebesar Imam Syafi’i pun mengakui kehebatan sastranya. Beliau mengatakan, “Seandainya Abu Nawas tidak mujun, niscaya aku akan belajar sastra kepadanyaâ€.
Dus, penulis tidak pernah menemukan keterangan bahwa Syair yang biasa dibaca setelah shalat Jum’at itu adalah karya Abu Nawas. Dalam sebuah kitab justeru disebutkan bahwa syari itu adalah karya Syekh al-Sya’roni, bukan milik Abu Nawas. Begitu pula dengan cerita-cerita lucunya, tidak ditemukan dalam letiratur sejarah.
Apakah ia seorang wali? Kita tidak bisa menjawabnya. Mengatakan iya, tidak ditemukan sumbernya dalam kitab. Menjawab bukan wali, kita takut. Walaupun ada sebagian ulama berpendapat bahwa Abu Nawas termasuk kafir zindiq, atau minimal fasiq. Tetapi kita mesti ingat bahwa Nabi saw. pernah bersabda, “Allah tidak menampakkan kekasih (wali) nya kepada kita semata karena kasihan kepada kitaâ€. Artinya, kalau semua walinya ditampakkan kepada kita, maka kita harus menghormati mereka. Apakah itu tidak menimbulkan masyaqqah? Memang pada detik-detik akhir kehidupannya, Abu Nawas berubah total. Khamer dan amrad yang menjadi trade merknya sejak ia menginjak dewasa dibuang jauh-jauh. Ia tidak lagi menggubah puisi-puisi mujun. Lembaran-lembaran syairnya dibakar habis, “Aku takut setalah aku mati nanti masih tersisa satu dari syairku. Oleh karena itu aku membakarnya†kata Abu Nawas ketika ditanya oleh salah seorang temannya. Kehidupan zuhudnya pada injury time itu terangkum dalam beberapa syairnya yang kemudian dikenal dengan isltilah zuhdiyat.
Dari salah satu syair zuhdiyatnya ini, ada empat bait syair yang mirip dengan syair yang biasa dibaca sehabis shalat Jum’at itu.
يارب ان عظمت ذنوبي كثرة فلقد علمت بأن عفوك اعظم
ان كان لايرجو ك الا محسن فمن الذي يرجو ويدعو مجرم
أدعوك رب كما أمرت تضرعا فإذا رددت يدي فمن ذا يرحم
مالي اليك وسـيلة الا الـرجا وجمـيل ظـني ثم اني مسـلم
Konon, setalah meninggal, salah seorang temannya bermimpi bertemu dengan Abu Nawas dengan wajah yang sangat tampan dan pakaian yang serba bagus.
“Apa yang kamu terima dari Allah?â€
“Allah mengampuni segala dosakuâ€
“Mengapa?â€
“Karena puisi-puisiku yang aku gubah sebelum aku matiâ€.
Alhasil, dari manakah sumber cerita yang sering kita dengar itu? Jawabnya, mungkin Abu Nawas ada dua: yang satu ada di
Wallahu A’lam.(zir)

No comments:
Post a Comment